ra kartini

RA Kartini, Pendidikan Bukan Merubah Orang Jawa Menjadi Belanda

Oleh: Drs. Wahyudi

mencerahkan.com – Semangat RA. Kartini dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama melalui jalur pendidikan tidak diragukan lagi. Di kala para perempuan tidak diperbolehkan mengenyam dunia pendidikan, semangat Kartini kecil justeru semakin menyala untuk sekolah. Hal ini nampak sejak ia berumur enam setengah tahun. Inilah yang menimbulkan kebingungan keluarganya. Sebab pada masa itu, yang boleh sekolah hanya anak-anak laki-laki dan anak perempuan keturunan Belanda. Bagi anak-anak perempuan Jawa, pendidikan resmi di sekolah pada masa itu dianggap tabu, tidak dibenarkan oleh adat dan dicerca oleh masyarakat. Namun Kartini kecil memberontak tradisi yang sangat diskriminatif tersebut.

Perjuangan Kartini tidak sia-sia. Akhirnya ia mendapat izin ayahnya bersekolah. Di sekolah ia bergaul dengan anak-anak keturunan Indo-Belanda. Karena hanya putra Bupati (bangsawan) saja yang diizinkan sekolah di sekolah Belanda. Kesempatan belajarnya itu tidak disia-siakannya. Di samping belajar bahasa Belanda, ia juga belajar bahasa Jawa di rumahnya. Belajar menjahit, menyulam dan merajut dari seorang nyonya Belanda. Selain itu, ia juga belajar membaca al-Qur’an kepada seorang santri.  Dimanfaatkannya betul kesempatan yang diberikan ayahnya. Ia benar-benar haus ilmu pengetahuan. Sebagai murid bumi putra, Kartini tampak lebih menonjol dibanding murid-murid lain yang berkebangsaan Belanda.

Semangatnya untuk maju, memenuhi hati Kartini kecil. Apalagi ketika Kartini ditanya oleh salah seorang temannya, Lesty, seorang anak Belanda, “Hendak kemana setelah mendapat surat tamat belajar (lulus) nanti?” pertanyaan itu sangat membekas dalam hatinya, dan mempengaruhi perkembangan pola pikirnya.  Pertanyaan temannya itu ia adukan kepada ayahnya. Jawaban yang ia dapatkan, “Apalagi jika tidak menjadi Raden Ayu”. Betapa senangnya Kartini ketika mengetahui jawaban itu. Tetapi belum tahu apa maksud “Raden Ayu” sendiri. Ia kemudian mencari tahu perihal “gelar” Raden Ayu, yang ternyata penuh dengan kekangan dan sederet aturan kebangsawanan. Mengetahui hal itu, iapun berpaling dan tidak suka menjadi Raden Ayu.

Tahun terakhir sekolah, ia lulus sebagai murid dengan prestasi terbaik. Namun pertanyaan dari temannya, Lesty, selalu terngiang di telinganya. Kartini pun bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia akan diizinkan ayahnya melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi sebagaimana kakaknya?

Pertanyaan Lesty, telah menumbuhkan sebuah prinsip yang dipegang teguh oleh Kartini. Bahwa kaum perempuan pun berhak mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga mereka nantinya dapat mendidik anak-anaknya secara baik dan benar.

Dalam bukunya, Habis gelap terbitlah terang, RA. Kartini menyampaikan, “Perempuan itu jadi soko guru peradaban. Dialah yang paling banyak dapat membantu memajukan kesusilaan manusia. Dari perempuanlah pertama-tama manusia itu menerima didikannya di haribaannyalah anak itu belajar merasa, berfikir dan berkata.”Peradaban manusia sangat tergantung pada kelembutan tangan para ibu, ditangan ibu-ibu inilah  akan lahir generasi berakhlak dan cerdas. Sebagaimana surat pada tanggal 30 September 1901 kepada isteri R.M. Abendanon, RA. Kartini menyampaikan, “Kecerdasan otak saja tidak berarti  segala-galanya. Harus ada kecerdasan lain yang lebih tinggi, yang erat hubungannya dengan yang lain untuk mengantarkan ke arah yang dituju. Di samping otak, juga hati harus dibimbing, kalau tidak demikian peradaban hanya tinggal permukaan…”

Surat RA. Kartini pada bulan Agustus 1901 kepada isteri Van Kol, “Dengan pendidikan yang bebas itu, bukanlah sekali-kali maksud kami akan menjadikan orang jawa itu orang Belanda, melainkan cita-cita kami ialah memberikan kepada mereka jiwa, sifat-sifat yang bagus yang ada pada bangsa-bangsa lain, akan jadi penambah sifat-sifat yang sudah ada padanya, bukanlah akan menghilangkan yang sudah ada padanya.

Ungkapan RA. Kartini di atas, memberikan pelajaran kepada kita bahwa pendidikan tidak akan merubah seseorang menjadi “orang lain”. Justeru dengan pendidikan kita akan menemukan jati diri kita, yang Jawa akan tetap menjadi orang Jawa, dan yang Belanda akan tetap menjadi orang Belanda.